Menjaga Netralitas Kepolisian Pasca Pilkada Serentak 2018

Kabar Nusantara News;- Semenjak pencabutan doktrin dwi fungsi ABRI dan menjadi pertanda era reformasi dan transisi demokrasi, Demokrasi di Indonesia diklaim bergerak maju. Dalam negara demokrasi yang semakin matang, maka lembaga negara diharapkan lebih mampu menjalankan fungsinya sesuai amanah Undang-undang.Makassar (10/02/2018)

Pada fase proses demokratisasi yang semakin maju maka seyogyianya para elit sipil seharusnya tidak mencoba-coba menarik kembali militer dan polisi dalam kehidupan politik praktis. Para elit sipil sudah seharusnya menempatkan militer dan polisi tetap dalam fungsi dan peran aslinya, secara purifikasi fungsi di mana militer berfungsi sebagai alat pertahanan negara dan polisi adalah alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Undang-undang yang ada di internal TNI maupun Polri melarang anggotanya berpolitik. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI mengatur larangan prajurit terlibat dalam kegiatan politik praktis. Undang-Undang Polri Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia mengharuskan polisi netral dalam kehidupan politik dan tak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis. Tak hanya itu saja, Dalam Pasal 28 Undang-Undang Polri Nomor 8 Tahun 2002 jelas mencantumkan polisi dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mundur atau pensiun dari dinasnya.

Dalam konteks ini kemudian menyambut momen pilkada serentak Tahun 2018 akan menjadi salah satu momen di mana independensi lembaga negara khususnya kepolisian akan dipertaruhkan. Tuntutan dan tuntunan untuk bekerja lebih professional menjadi harga mati untuk tetap menjaga stabilitas politik dan keamanan. Kepolisian tidak boleh terbawa arus politik yang bisa menyeret lembaga ini dalam pusaran politik yang mengancam situasi kondusif agar masyarakat tetap bisa tenang dan damai.

Belajar dari pengalaman masyarakat kita mengalami phobia militer di mana pada era orde baru militer dan kepolisian menjadi alat negara dan pada situasi tertentu dimanfaatkan oleh rezim sebagai alat politik. Khusus untuk lembaga kepolisian agar tidak represif dalam bertindak dan tetap berada di bawah koridor hukum yang berlaku.

Khusus untuk Kepolisian agar tetap memperhatikan rambu-rambu dalam proses penegakan hukum. Seperti kasus di Kota Makassar dengan adanya pemanggilan terhadap walikota Makassar Dhani Pomanto sebagai saksi agar kepolisian tetap bertindak profesional. Sebagaimana prinsip-prinsip yang termaktub dalam Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana Pasal 3 tentang prinsip penyidikan yaitu aspek legalitas, proporsional, profesional, prosedural, transparan, akuntabel serta efektif dan efisien.

Kepolisian sebagai lembaga negara yang bertujuan untuk menegakkan hukum harus memberi contoh bagaimana taat pada peraturan hukum Sebab pada prinsipnya mustahil menegakkan hukum dengan melanggar hukum itu sendiri. Tentu ini menjadi harapan sekaligus sebuah tanggung jawab besar bagaimana kepolisian menjaga kepercayaan “Trust” kepada publik dengan tetap menjadi lembaga yang profesional dan tidak tergiring dalam konflik dan friksi politik pasca tahun-tahun politik sekarang dan di masa yang akan datang.

Penulis : Amirullah Arsyad

-Ketua Umum Gerakan Pemuda Peduli Bangsa (GEMPA) Makassar

– Wakil Sekertaris Komisi Otoda dan Kesbang DPD KNPI Kota Makassar.

– Koordinator kajian hukum Konsorsium Advokat Muda Makassar.



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *