HAM Dalam Dimensi Ekonomi, Sosial dan Budaya

Kabarnusantaranews, Opini;- Perdebatan tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dalam konstitusi bukan hal yang baru di Indonesia. Sejak perumusan UUD 1945, perdebatan sengit tentang perlu tidaknya jaminan hak asasi dalam konstitusi sudah mengemuka diantara para pendiri negara kita.

Perdebatan antara kelompok Muhammad Yamin dan Muhammad Hatta yang mendorong adanya jaminan hak asasi, sementara kelompok kedua yang diwakili oleh Soekarno dan Supomo mendasarkan pada konsep negara sentralistik.

Fakta tersebut menunjukkan arti penting HAM yang dijamin dalam konstitusi dan mekanisme yang harus disediakan oleh konstitusi untuk pemenuhan hak konstitusional tersebut.

Rezim HAM dalam konstitusi terbagi dua yaitu Hak Sipil Politik (Sipol) dan Hak-Hak ekonomi, sosial, dan budaya (Ekosob).

Namun pada kesempatan baik ini penulis hanya fokus membahas mengenai hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya sebagai hak universal yang terintegrasi dalam Konstitusi Hak Asasi Manusia Internasional (international bills of rights) yaitu Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia, Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, dan Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.

Ketiga instrumen hak asasi ini telah luas diakui sebagai acuan bersama bagi setiap negara dalam hubungan antara negara dengan warganegaranya.

Di Indonesia sendiri sebagian hak-hak ekosob yang dijamin dalam Kovenan Internasional Hak Ekosob telah diakui dalam konstitusi sejak lahirnya negara RI, seperti hak atas pekerjaan, hak atas kesehatan, hak atas pendidikan, dan hak atas kesejahteraan dan jaminan sosial.

Sejak berdirinya, Indonesia telah mengakui pentingnya jaminan hak-hak ekosob bagi peningkatan kualitas hidup manusia. Sebuah bentuk pengakuan bahwa hak-hak ekosob adalah hak asasi dan bukan aspirasi belaka.

Sehingga secara konseptual maupun empirik, penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasi merupakan basis bagi penghormatan martabat manusia dan terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Hak-hak ekosob dalam konstitusi

UUD 1945 Pasal 33 Ayat (3) amandemen keempat menyatakan “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” Pasal ini mengisyaratkan bahwa segala potensi Sumber Daya Alam (SDA) berikut pengelolaannya dipergunakan sepenuhnya untuk menyejahterakan rakyat, bukan justeru dikuasai oleh negara lalu diberikan kepada investor dan para kapitalis untuk dikelola namun mengabaikan nasib rakyat.

Saat ini gerak laju pertumbuhan ekonomi melambat, jumlah orang miskin terus bertambah, banyak orang kehilangan dan tidak mendapat kesempatan kerja, di Sulawesi Selatan sebanyak 77.766 Balita mengalami gizi kronis dan stunting (Tribun Timur, 3/12/2019) orang tidak memiliki hunian yang layak bahkan tanpa rumah semakin meningkat.

Pemandangan ini yang dengan gamblang setiap hari kita saksikan yang menunjukkan kegagalan negara dalam memenuhi hak hak ekonomi, sosial, dan budaya. Berkaitan dengan realitas ini warga negara dapat mengajukan pertanyaan, apakah kegagalan ini dilakukan secara sengaja (by commission) atau merupakan bentuk pembiaran (by ommission)?.

Mengapa pelanggaran terhadap hak hak ekonomi, sosial, dan budaya ini perlu diangkat ke publik baik dengan cara monitoring maupun investigasi dengan tujuan agar dapat mengakhiri impunitas terhadap hak hak tersebut. Sebab tanpa mengetahui dengan terang dan jelas pelanggarannya, kita tidak dapat melakukan pemulihan terhadap (para korban). Akibatnya rantai impunitas dalam konteks hak, tidak bisa diputuskan. Keadaan ini jelas berbahaya bagi strategi pemenuhan hak hak ekonomi, sosial, dan budaya secara umum.

Tanggungjawab negara

Konsep tanggungjawab negara dalam konteks memajukan hak-hak ekosob, dan advokasi terhadap pelanggarannya diharapkan dapat melahirkan kebijakan negara demi mewujudkan perlindungan dan pemajuan hak-hak ekosob dilakukan. Artinya, kebijakan negara dalam menjamin hak-hak tersebut merupakan bentuk tanggung jawabnya terhadap pelaksanaan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya). Apabila negara tidak mengambil langkah langkah apapun dalam memajukan, melindungi dan memenuhi hak-hak ekosob itu, maka negara telah melanggar kewajibannya.

Pada 10 Desember 1948, di Prancis dilaksanakan Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia. Hari bersejarah bagi perkembangan pemikiran tentang eksistensi manusia mengenai tercapainya titik kulminasi konseptualisasi HAM sebagai wacana universal. Peringatan hari HAM dapat menjadi spirit baru bagi keutuhan dan masa depan umat manusia sekaligus menjadi momentum untuk mengoreksi dan memeriksa kebijakan negara terkait perlindungan dan pemenuhan hak-hak ekosob bagi rakyat Indonesia.

Oleh: Abdul Aziz Saleh, SH.,MH

Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI)

Wilayah Sulawesi Selatan.



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *