Selalu Kontroversi, Begini “SIDANG ISBAT” Dalam Tinjauan Historis

Kabar Nusantara News;- Setiap kali jelang Ramadhan,umat muslim di Indonesia kerap dihadapkan pada sebuah polemik lama, yakni apa yang disebut sebagai “kontroversi sidang isbat”.Nasional (20/05/2018)

Sidang tersebut digelar untuk menghasilkan keputusan tunggal, “kapan dan tepat pada tanggal berapakah, puasa dimulai?

Rumusan masalah ini bukan perkara mudah untuk dijawab. Pada detik-detik penentuan “hilal” (bulan yang nantinya akan menjadi penanda masuknya tanggal 1 Ramadhan), Kementerian Agama adalah lembaga yang paling sibuk di negeri ini.

Lembaga tersebut mengerahkan seluruh kemampuannya–mulai dari para ahli falak, astronom, hingga teknisi–hanya untuk menjawab pertanyan di atas itu.

Namun setelah berbagai temuan lapangan dikumpulkan, didiskusikan, lalu diputuskan menjadi satu kesimpulan dengan “ketukan palu hakim”, ternyata jawabannya tetap tak tunggal. Sebab, kadang masih ada sebagian kelompok yang tak meyakini keputusan sidang itu,Di situlah letak kontroversinya.

Polemik semacam ini sudah terjadi sejak lama. )Menurut Muhyiddin Yassin kala sedang menjabat Kepala Sub Direktorat (Kasubdit) Hisab Rukyat Kementerian Agama (Kemenag),sidang isbat penentuan tanggal pertama bulan Ramadhan kali pertama diselenggarakan pada tahun 1950-an. Dia menuturkan, “Sejak dulu memang sudah diperkirakan adanya kemungkinan perbedaan.

Untuk mengambil jalan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, pemerintah mengambil inisiatif untuk melakukan sidang isbat,” sebagaimana diwartakan oleh Merdeka.com pada 19 Juli 2012.

Perbedaan ini muncul tak lepas dari keberadaan ragam organisasi masyarakat (ormas) Islam di Indonesia yang punya metode masing-masing dalam menentukan “hilal“.

Ada yang menggunakan ru’yah (pendekatan empiris) sebagaimana yang sering dipraktikkan oleh Nahdlatul Ulama (NU) dan ada yang lebih menekankan hisab (pendekatan logis-matematis) seperti Muhammadiyah.

Keduanya tentu dapat menghadirkan dalil yang sama kuat. Namun, terlepas dari kerumitan konten perdebatannya, ternyata kedua organisasi tersebut memang memiliki “Penaggalan Islam” yang dijadikan rujukan masing-masing.

Muhammadiyah punya kalendernya sendiri (Kalender Muhammadiyah) yang telah dirintis sejak 1915 oleh K.H. Ahmad Dahlan dan disusun oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Sebagaimana dicatat oleh Yunan Yusuf dkk. dalam Ensiklopedi Muhammadiyah, cet. 1, (2005), ahli yang melakukan perhitungan pada periode awal adalah K.H. Siradj Dahlan dan K.H. Ahmad Badawi.

Demikian pula dengan NU. Organisasi ini juga mengantongi kalender sendiri yang disebut “Almanak PB NU”.

Tak jelas kapan kali pertama dibuatnya. Namun tercatat bahwa penulisan awalnya amat dipengaruhi oleh para ahli falak,seperti K.H. Mahfudz Anwar, K.H. Turoihan Ajhuri, dan K.H. Noor Ahmad.

Kemudian setelah terbentuk Lajnah Falakiyah PB NU (LFNU), kalender itu terus mengalami penyempurnaan. LFNU sendiri diresmikan pada 26 Januari 1985 oleh KH Radli Soleh, Wakil Rois Aam PBNU 1984-1989 sekaligus guru ilmu falak di Pondok Pesantren al Munawwir Krapyak, Bantul, Yogyakarta.

Selain kedua organisasi ini, sebenarnya masih banyak komunitas muslim lain yang juga memiliki metode berbeda dalam penentuan awal Ramadhan. Di antaranya, seperti Jemaah An-Nadzir, Islam Aboge, Trah Bonokeling, dll.

Lantaran mereka bukan bagian dari muslim mainstream, tak heran bila keberadaanya kerap dianggap sebagai “pengecualian” dalam artian dalilnya tak pernah dihidangkan secara terbuka sebagai bahan bedah di meja sidang.

Berbeda dengan NU dan Muhammadiyah,atau ormas mainstream lainnya.Kalau suara komunitas “Islam pinggiran” ini tak terakomodir,organisasi-organisasi mainstream itu justru sanggup menyajikan masing-masing pendapatnya ke permukaan publik luas hingga menjadi wacana perdebatan.

Dari saking panasanya, polemik ini sampai-sampai membuat Hamka terpanggil untuk menulis artikelnya, “Rukjah dan Hisab” pada tahun 1958 (1278 H) yang dimuat dalam majalah Suara Muhammadiyah, No. 10. Th ke. 33, Sya’ban 1378/Desember (tahun yang sama). Di dalamnya, dia mengangkat tema titik temu antara kelompok rasional-matematis (hisab) dan empiris (ru’yah). Dia sangat nampak sangat memimpikan kebersamaan.

Upaya ini dilanjutkan oleh Hasbi ash-Shiddieqy dengan menelurkan “Tempuhlah Satu Djalan Sadja dalam Menentukan Awal Ramadan dan Syawal” pada 1969. Beberapa tahun berikutnya, dia kembali menulis di Suara Muhammadiyah, No. 9. Th ke. 53, Rabiul akhir, 1/1393, Mei 1/1973 dengan tajuk “Perbedaan Mathla’ tidak mengharuskan Berlainan Hari memulai Puasa”.

Setehun sebelumnya, 1972, berdasarkan catatan Hamdany Ali dalam Himpunan Keputusan Menteri Agama 1972, cet.I, (1973), A. Mukti Ali selaku Menteri Agama RI telah membentuk Badan Hisab Rukyat (BHR) berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 76 Tahun 1972. Tujuannya sama, yakni upaya rekonsiliasi pendapat. Lalu, surat keputusan berikutnya menyusul (No. 77) tentang susunan personalia. Saadoe’ddin Jambek ‘lah yang diangkat sebagai ketuanya.

BHR ini setelah melakukan usaha seriua untuk mencari titik temu antara kubu-kubu yang berbeda, akhurnya dapat melauncing “Ephemeris Hisab dan Rukyat”.

Kian hari, upaya-upaya semacam itu terus disempurnakan. Pada hari weekend, Sabtu 4 September 1993 (17 Rabi’ul awal 1414) sebagaimana laporan Rukyah dengan Teknologi Upaya Mencari Kesamaan Pandangan tentang Penentuan Awal Ramadhan dan Syawal (1994) karya M. Solihat, ICMI Orsat Kawasan Puspiptek mengadakan diskusi panel “Teknologi Rukyah Awal Ramadhan dan Syawal secara objektif” bersama Universitas Muhammadiyah Jakarta di Gedung BATAN Serpong-Tangerang.

Para narasumbernya berasal dari latar belakang ormas dan profesi beragam. Yakni, Basit Wachid (Muhammadiyah), Ma’ruf Amin (NU), Wahyu Widiana (Depag RI), S. Farid Ruskanda (LIPI), dan Darsa Sukartadiredja (Planetarium).

Gagasan yang dimunculkan sebagai hasil pertemuan adalah pentingnya penggunaan teknologi dalam menentukan hilal. Hal itu dilakukan untuk mengatasi keterbatasan indra dalam melakukan observasi. Pada tahun berikutnya, 1994 gagasan tersebut direalisasikan. S. Farid Ruskanda mengkoordinir hadirnya apa yang disebut “Teleskop Rukyat”.

Uji coba perdananya dilaksanakan pada 3-5 Desember 1994 di Pos Observasi Pelabuhan Ratu Sukabumi Jawa Barat (S. Farid Ruskanda, Perkembangan Teleskop Rukyat, 1994).

Sejak itulah teknologi menjadi bagian penting dalam sidang isbat. Dan, usaha semacam ini berlangsung sampai sekarang, baik menjelang Ramadhan (Bulan Puasa) maupun Syawal (Hari Raya Idul Fitri). Namun tetap saja, perbedaan tak dapat dihindari. Mungkin ada baiknya, kita kembali kepada jati diri bangsa, “Bhinneka Tunggal Ika”.

Bahwa, perbedaan tak perlu dianggap sebagai ancaman melainkan sebagai rahmat kebhinnekaan. Berbeda-beda tapi tetap satu tujuan.

Sumber :sejarahRI.com



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *