PSI : Penjelasan DPR Dan Pemerintah Di Sidang MK Soal Revisi UU MD3 Tidak Meyakinkan

Kabar Nusantara News;- Sidang uji materi tentang Revisi UU MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3) kembali dilanjutkan pada Rabu 11 April 2018 di Mahkamah Konstitusi dengan agenda mendengarkan keterangan DPR dan Pemerintah. Partai Solidaritas Indonesia (PSI) merupakan salah satu pihak yang mengajukan ujia materi tersebut.Nasional (15/04/2018)

Penjelasan dari pihak Pemerintah yang diwakili oleh Direktur Litigasi Kemenkumham, Ninik Hariwanti, hanya bersifat normatif dan tidak menyentuh sama sekali pokok permasalahan sidang. Jawaban dari pihak DPR yang diwakili oleh Arteria Dahlan, tidak komprehensif dan tidak menjawab pokok permasalahan dengan jelas.

“Terdapat banyak inkonsistensi dan kesalahan konsep secara fundamental,” kata juru bicara PSI bidang hukum, Dini Purwono, dalam siaran persnya, Kamis 12 April 2018.

Pihak DPR terlihat tidak bisa membedakan antara kerugian aktual dan kerugian konstitusional. Padahal yang menjadi fokus pemeriksaan MK adalah apakah suatu peraturan perundang-undangan menghilangkan atau mengurangi hak-hak warga negara yang diberikan oleh UUD45. Jadi tolak ukurnya bukan apakah ada kerugian aktual atau potensi kerugian, tapi lebih kepada apakah suatu perundang-undangan itu konstitusional atau inkonstitusional.

Terkait Pasal 73, DPR terlihat blunder pada saat mengatakan bahwa kewenangan DPR lebih besar dibandingkan KPK dan Polri. Dan karenanya wajar apabila DPR juga mendapatkan kewenangan untuk melakukan upaya paksa. Ini pemikiran yang “off-side” dalam konsep Trias Politica.

Pasal mengenai kewenangan upaya paksa ini menjadi inkonstitusional karena tidak dikaitkan secara khusus dengan hak angket DPR. Karena berdasarkan konstitusi kewenangan DPR untuk melakukan penyelidikan adalah dalam kaitannya dengan hak angket dan hal ini sudah diatur dengan benar dalam UU MD3 yang lama. Posisi ini juga sudah diperkuat oleh Putusan MK No 14/PUU-I/2003.

Terkait Pasal 122 huruf L, DPR juga terlihat blunder dalam mengerti hakikat MKD. Menurut DPR, tugas MKD adalah menjaga harkat dan martabat anggota DPR. Dan karenanya MKD harus diberikan kewenangan untuk melakukan langkah hukum bagi siapapun yang menghina kehormatan DPR. DPR menganggap pasal-pasal KUHP mengenai pencemaran nama baik, fitnah tidak jelas kanalnya sehingga DPR merasa perlu ada perlindungan tambahan.

Menurut Dini, “Ini jelas salah kaprah karena fungsi MKD sebagai lembaga etik adalah menjaga harkat dan martabat anggota DPR dengan melakukan evaluasi dan supervisi atas perilaku dan tindakan-tindakan anggota DPR yang bisa merendahkan harkat dan martabat DPR, memberikan peringatan dan sanksi kepada anggota DPR yang melakukan pelanggaran kode etik. Bukan malahan menjadi “kuasa hukum/polisi DPR” untuk mengambil langkah hukum terhadap pihak lain/masyarakat.”

Terkait Pasal 245, DPR menjelaskan bahwa hak imunitas diperlukan untuk melindungi anggota DPR dari upaya-upaya kriminalisasi dalam rangka pelaksanaan tugasnya. Namun sepertinya DPR tidak teliti dalam membaca pasal tersebut karena Pasal 245 jelas menyatakan bahwa pemanggilan dan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan MKD. Hal ini yang menjadi masalah dan sudah ada Putusan MK No 76/PUU-XII/2014 yang menegaskan bahwa MKD tidak seharusnya dilibatkan dan bersentuhan langsung dengan sistem peradilan pidana.

“Pihak DPR menekankan pentingnya penguatan parlemen utk mengimbangi pemerintah agar tidak menjadi otoriter. Tapi konsep “check and balances” yang dijelaskan DPR selama sidang terasa tidak seimbang karena semuanya hanya mengenai perlindungan anggota DPR dan hak DPR untuk “check” namun tidak diimbangi dengan hak pihak lain untuk “check” DPR serta bagaimana pertanggungjawaban DPR kepada rakyat,“ lanjut Dini yang juga bacaleg PSI ini.

Sidang akan dilanjutkan Kamis 19 April 2018 dengan menghadirkan dan mendengarkan Ahli. PSI berencana menghadirkan staf pengajar Fakultas Hukum UGM, Zainal Arifin Mochtar.(*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *