Pilkada Serentak dan Urgensi Demokrasi Elektoral

Kabarnusantaranews,OPINI ;- Dalam ingatan kolektif bangsa, kita sadar betul bahwa Pelaksanaan demokrasi elektoral di Indonesia berjalan begitu cepat dan cukup dramatik. Hal ini memperlihatkan adanya fakta menarik yang menjadi diskursus di banyak tempat dan waktu.

Menyikapi dinamika politik hari hari ini, telah menunjukkan adanya sebuah perkembangan baru yang agaknya semakin sulit di akomodasi oleh format konstalasi politik nasional. Kecenderungan tersebut tentunya mencoba memberikan ekses terhadap masalah transisi menuju demokrasi.

Berdasarkan jejak pendapat sembari mengiyakan bahwa Indonesia saat ini tentunya berada dalam fase transisi yang begitu labil, Hal ini tentunya terkonfirmasi dengan mencoba melihat bahwa keberadaan format sistem lama yang cenderung otoritarian sudah kehilangan legitimasi dan basis moralnya. Sementara konsensus tentang sistem baru belum terjadi.

Artinya bahwa demokrasi sebagai sebuah konsensus perlu mengupayakan adanya komitmen bersama untuk mengarusutamakan semua problem mendasar di akar rumput (grassroot) masyarakat Indonesia. Maka olenya itu Periode transisi ini penting untuk diperhatikan.

Kita menyaksikan adanya perdebatan isu keterbukaan konstalasi politik nasional masih terus mengalir. Namun, perubahan terhadap realitas politik masih saja belum juga terjadi.

Perihal Pemilihan kepala daerah misalnya kita tahu betul bahwa pilkada serentak di Indonesia merupakan agenda demokrasi di tingkat local yang tentu hiruk pikuknya kian kita terasa di Indonesia sebagai sebuah negara demokrasi terbesar.

Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar tentunya mengupayakan adanya konsolidasi politik nasional, salah satu wujud dan mekanisme konstalasi politik nasional dalam sistem ketatanegaraan Indonesia adalah pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung.

Pemilihan kepala daerah 2020 nanti merupakan pilkada gelombang keempat dimana kita tahu betul bahwa Gelombang pertama terjadi pada 12 Desember 2015 yang melibatkan 269 wilayah yang mencakup sembilan provinsi, 224 kabupaten, dan 36 kota di Indonesia, ditujukan bagi kepala daerah yang memasuki akhir masa jabatan 2015 dan semester pertama 2016. Gelombang kedua di gelar pada 15 Februari 2017 yang berlangsung di 101 wilayah, yakni tujuh provinsi, 76 kabupaten, dan 18 kota.

Sementara gelombang ketiga dilaksanakan pada 27 Juni 2018 yang diselenggarakan di 171 wilayah yang mencakup 17 provinsi, 115 kabupaten, dan 39 kota , ditujukan bagi kepala daerah yang akhir masa jabatannya jatuh pada 2018 dan 2019.

Pilkada serentak gelombang keempat akan dilaksanakan pada 23 september 2020 nanti yang akan berlangsung di 270 daerah yang meliputi 9 provinsi, 224 kabupaten dan 37 kota untuk memilih kembali kepala daerah hasil pemilihan tahun 2015.

Gelombang kelima Pilkada adalah tahun 2022 untuk kepala daerah hasil pemilihan 2017. Gelombang keenam akan dilaksanakan pada 2023 untuk kepala daerah hasil pemilihan tahun 2018. Berdasarkan tahapan ini, skenarionya ke depan, Pilkada serentak secara nasional diharapkan dapat dilaksanakan pada 2027.

Penyelenggaraan pilkada secara langsung didalam demokrasi elektoral oleh rakyat pada prinsipnya tidak bisa di lepas pisahkan dari upaya bangsa Indonesia meningkatkan kualitas demokrasi local. Tentunya kualitas semua negara demokrasi acapkali berangkat dari partisipasi aktif masyarakat baik di daerah maupun nasional.

Dalam konteks pelaksanaan desentralisasi politik secara umum dikatakan bahwa pemilihan kepala daerah secara langsung itu lebih demokratis.

Setidaknya ada dua alasan mengapa gagasan pemilihan langsung dianggap perlu Pertama untuk membuka pintu bagi tampilnya kepala daerah yang sesuai dengan kehendak mayoritas rakyat sendiri. Kedua untuk menjaga stabilitas pemerintahan agar tidak mudah dijatuhkan ditengah jalan.

Praktik selama rezim Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, menunjukkan bahwa pemilihan melalui mekanisme DPRD seringkali berseberangan bahkan tidak sesuai dengan kehendak mayoritas rakyat di daerah.

Beranjak dari hal tersebut tersebut maka penyelenggaraan pilkada serentak yang ada tentunya seringkali memunculkan permasalahan baru dengan melihat indeks kerawanan pemilu misalnya problem netralitas ASN dalam menggunakan otoritasnya (abuse of power) didalam mobilisasi sumber daya negara, keberadaan integritas penyelenggaraan pemilu yang sering di persoalkan, polemic politik uang (money politic) yang di nilai massif terjadi di masyarakat.

Dimana Praktik politik uang yang semakin massif menimbulkan konflik, sengketa, bahkan kerusuhan selalu membayangi penyelenggaraan Pilkada, serta ujaran kebencian dan hoax di tengah tengah transidentitas dan transcultural masyarakat Indonesia yang begitu beragam yang seringkali di balut dalam konstruk isu SARA.

Belum lagi kita melihat banyak kepala daerah dan mantan kepala daerah yang berhasil memimpin di daerahnya menjadi tersangka atau pidana didalam berbagai perkara korupsi kian meningkat.

Hal ini tentu menjadi problem mendasar yang seringkali meredupkan kualitas demokrasi didalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, sehingga Pilkada perlu dibenahi secara komprehensif.

Mengingat bahwa salah satu permasalaan terbesar dalam pelaksanaan pilkada kita sampai hari ini adalah pilkada belum berhasil melahirkan dan menciptakan pemimpin kepala daerah yang berintegritas, berkualitas, bebas dari perkara korupsi.

Oleh : Syaf Lessy (Direktur Lingkar Demokrasi Institute)



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *