Opini : KNPI Di Balik Terjangan Disrupsi

Kabarnusantaranews, Opini;- Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), dideklarasikan pendiriannya di Cipayung 23 Juli 1973, oleh para pimpinan organisasi kemahasiswaan berbasis kekaderan — kelak populer dinamai “Kelompok Cipayung” (HMI, PMII, PMKRI, GMKI dan GMNI) — setelah sebelumnya, melakukan serangkaian pertemuan dalam kegiatan BKKBN, badan milik pemerintah untuk urusan keluarga berencana.

Kiprah perjalanan sejarah KNPI selanjutnya, kelak melahirkan banyak tokoh yang memiliki andil dan pengaruh di negeri ini. Mereka tak hanya mengabdikan diri di lingkaran birokrasi pemerintahan, tapi juga di dunia wirausaha. Bahkan lebih banyak lagi, berkiprah di pentas politik praktis. Selain di tingkat nasional, jauh lebih banyak lagi di daerah-daerah, merata di hampir di seluruh penjuru tanah air.

Tampilnya para tokoh muda mengambil alih regenerasi kepemimpinan bangsa, tak lain karena juga mendapatkan sokongan mobilitas vertikal dari Golkar yang di masa Orde Baru menjadi satu-satunya partai penopang kekuasaan. Juga melalui kanal Golkar, KNPI sah mendapat pengakuan pemerintah sebagai satu-satunya repsentasi pemersatu, sekaligus wadah komunikasi pemuda di Indonesia. Akibatnya, KNPI memiliki ketersedian anggaran yang bersumber dari porsi APBN/APBD, sebagaimana diamanatkan dalam rumusan GBHN.

Namun sejak bergulirnya gerakan reformasi 1998, ditandai dengan dibukanya saluran kran demokratisasi seluasnya yang berkonsokuensi terciptanya “free competition public space”. Ruang publik untuk berkompetisi secara bebas yang lebih mengedepankan pada kompetensi individu. Sejak itu kiprah KNPI perlahan meredup, meski telah mencoba meramu orientasi barunya melalui rumusan “Paradigma Baru KNPI 2020”. Lebih tragisnya lagi, kepemimpinan KNPI hingga saat ini, malah terbelah. Sama-sama mengklaim diri kepengurusan paling sah.

Berlatar Aliran

Deklarasi berdirinya KNPI, sesungguhnya bukan sifatnya sesuatu yang serta merta, tapi menjadi bagian tak terpisahkan dari tapak-tapak sejarah bangsa yang telah mendahului. Pernyataan Sumpah Pemuda misalnya, melalui Kongres Pemuda II-1928 yang diikrarkan oleh para tokoh pemuda atas nama keterwakilan daerah-daerah, menjadi bukti bahwa masyarakat negeri ini memang pluralistik. Memiliki ragam latar aliran yang berbeda-beda.

Bahkan sebelum Sumpah Pemuda diikrarkan, sejak mula Boedi Otomo 1908 telah berdiri untuk menghimpun kalangan priyai Jawa. Lalu 1909 menyusul berdiri Sarekat Dagang Islam. NU berdiri 1926, PNI 1927, serta sejumlah organisasi massa lainnya yang memiliki niat sama untuk memerdekakan Indonesia. Namun perkembangannya, pasca Indonesia merdeka, dari sekian organisasi itu kemudian mewujud sebagai partai politik. Tindak lanjutnya, menjadi kontestan pemilu pertama di Indonesia.

Sejak pemilu 1955 itulah, berkembang serta makin menajamnya politik aliran, tak bisa lagi dielakkan. Oleh antropolog Clifford Geertz ,mengelompokkan dalam tiga kategori besar. Santri (kelas menengah agamis), abangan (petani rakyat jelata), serta priyayi (birokrat-aristokrat). Atau oleh Soekarno di masa “demokrasi terpimpin”, mengakumulasinya dengan akronim “Nasakom” (Nasionalis, Agama, Komunis), meski di ujungnya justru jadi bumerang.

Pengelompakan itu, bagian repsentase golongan aliran di antara ke-empat partai politik peraih suara terbesar Pemilu 1955; PNI, Masyumi, NU dan PSII. Dan puncak pertentangan aliran-aliran itu, saat sidang konstituante tak berhasil melahirkan UUD sebagai pengganti UUDSementara. Soekarno pada akhirnya mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 untuk salah satu butirnya, kembali kepada UUD 1945 sebagai dasar negara.

Di tengah kondisi carut marut negara, lebih lagi bergolaknya pemberontakan di daerah-daerah, serta pemberontakan PKI, massa mahasiswa yang tergabung dalam KAMI, akhirnya turun ke jalan. Meminta Soekarno turun dari jabatan Presiden. Dan sejak itulah kekuasaan Orde Lama Soekarno, berakhir. Diganti rezim Orde Baru, Soeharto. Di masa awal Orde Baru itulah — setelah dilakukan fusi partai; PPP, Golkar dan PDIP, KNPI — menyusul pendirian KNPI dideklarasikan di Cipayung sebagai wadah tunggal keberhimpunan OKP secara konfederasi.

Berkomite di KNPI

Sejak mula berdirinya, disepakati bahwa organisasi KNPI berbentuk konfederasi. Itu sebab dinamai “komite” (committee). KBBI mengurai arti “komite”, adalah sejumlah orang yang ditunjuk melaksanakan tugas tertentu. Artinya bahwa kepengurusan KNPI adalah mereka secara eksponensial bersumber dari perutusan masing-masing OKP yang menyatakan diri ikut serta berkomite di KNPI, guna melaksanakan tugas-tugas tertentu. Dengan demikian, kepengurusan KNPI tak sama bentuknya dengan OKP yang hanya berlatar perseorangan.

Akan tetapi, keberagaman latar aliran OKP yang menjadikan KNPI “miniatur Indonesia”, di bawah 32 tahun kekuasaan Orde Baru — yang tak mau mengulang kisah carut marut negara di era Orde Lama akibat menajamnya pertentangan politik aliran — melalui serangkaian kebijakan, diantaranya “Asas Tunggal Pancasila”, keberagaman aliran itu akhirnya perlahan memupus. OKP yang semula berbasis aliran, sendirinya melemah. Keberhimpunan OKP di KNPI, pun ikut mencair. Substansi berkomite secara konfederasi, kehilangan rohnya. KNPI diterjang disrupsi. Tinggal seonggok jasad. Bangkai yang tak telah kehilangan nyawa.

Menuju Era Milenial

Jika KNPI telah ditinggal zaman dan telah kehilangan rohnya, haruskah KNPI yang menelor banyak tokoh di negeri ini, membubarkan diri? Mau tak mau, sudah seperti itu nasib dialami jika KNPI ingin tetap bertahan dengan jati dirinya sebagai organisasi berbentuk konfederasi diantara OKP. Sementara OKP yang idialnya adalah merupakan repsentase aliran-aliran yang menjadi karakteristik negeri ini, sudah mencair. Dibuktikan dengan semakin banyaknya OKP yang mewujud hanya sebagai organisasi “papan nama”. Kepengurusannya makin tak jelas.

Lain soal, jika KNPI memiliki keberanian “harakiri”. Menggeledah diri untuk merumuskan ulang eksistensinya dalam formula baru sesuai kebutuhan zaman. Boleh jadi, konfederasi aliran-aliran OKP, selanjutnya berubah wujud menjadi konfederasi “asosiasi” kepemudaan yang berlatar keahlian profesi yang mumpuni. Bukankah di era milenium saat ini, pemuda berkelompok dalam asosiasi kecakapan. Juga sekaligus menjawab tuntutan industri 4.0.

Makassar, 26 Desember 2019.

Oleh Armin Mustamin Toputiri

Sekretaris KNPI Sulsel 2001-2004

Sumber: Opini Harian Tribun Timur, 27 Desember 2019

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *