Opini : Kemampuan Retorika Dalam Urgensi Meyakinkan Publik

Kabar Nusantara News;- Antusiasme publik semakin membuncah, menjelang debat capres-cawapres tahap kedua yang sedianya akan digelar pada 17 februari mendatang. Bisa dipahami, ada tensi yang semakin memanas baik oleh tim maupun pendukung antara kedua kandidat.Opini (16/02/2019)

Adu argumentasi dan saling bela jagoan masing-masing terkait siapa lebih unggul pada debat sebelumnya, ditambah lagi kritik yang terus menyerang KPU RI sebagai penyelenggara menjadi stimulasi meningkatnya animo menyambut debat berikutnya.

Ketua KPU RI Arif budiman memastikan bahwa akan ada yang berbeda pada konsep dan teknis penyelenggaraan saat debat nanti. Misalnya sebuah segmen debat yang durasi waktunya total 10 menit yang dimaksudkan agar para kandidat dapat saling menjawab dan menanggapi pertanyaan moderator lebih maksimal.

Opini saya kali ini tentu tak berfokus pada ranah tersebut. Membaca psikologis publik dalam hal menanggapi debat memang penting. Apakah debat nantinya dapat menjadi barometer bagi publik untuk menentukan bahkan mengeliminir pemimpin mana yang layak atau tidak untuk indonesia lima tahun ke depan.

Kaitannya dengan polemik hari ini menurut hemat saya, betapapun durasi ditambah dan pola debat terus mengalami perubahan toh itu hanya penunjang optimalisasi debat. Kita tentu tidak menginginkan tanggapan publik pasca debat pertama kembali terjadi pada debat-debat selanjutnya, sehingga jelas sangat penting bagi para kandidat dan timnya menyiapkan materi debat.

Urgensi lain adalah kandidat harus memperlihatkan kemampuan dalam hal retorika komunikasi secara efektif demi memaksimalkan tujuan agar visi dan program unggulan dapat diingat, dipahami oleh publik. Dan inti lainnya adalah apakah dalam debat tersebut para kandidat mampu saling adu visi dan argumentasi secara efektif menjawab persoalan bangsa dan objektif tak saling menjatuhkan satu sama lain. Hal yang sangat kita tunggu sebetulnya apakah melalui debat tersebut publik yang menyaksikan dapat memahami dan menghasilkan sebuah keyakinan kepada siapa pilihan politik akan berlabuh.

Pada titik inilah, peran retorika dan kemampuan komunikasi para kandidat dalam penyajian materi debat di hadapan publik menjadi salah satu penentu. Cleanth brooks dan robert penn warren dalam modern rhetoric, mendefinisikan retorika sebagai the art of using language effectively atau seni penggunaan bahasa secara efektif.

Bahkan dalam Sejarah Dunia justru kepandaian berbicara atau berpidato dianggap sebagai instrumen utama untuk mempengaruhi massa. Demikian halnya dengan ilmu Retorika modern yang merupakan gabungan yang serasi antara pengetahuan, pikiran , kesenian dan kesanggupan berbicara. Dalam bahasa percakapan atau bahasa populer, retorika berarti pada tempat yang tepat, pada waktu yang tepat, atas cara yang lebih efektif, mengucapkan kata–kata yang tepat, benar dan mengesankan.

Menyadur pandangan di atas masuk ke dalam konteks debat capres-cawapres, retorika yang dimaksud tentu saja tak melulu berbicara secara teratur, “memamerkan” penguasaan bahasa dan istilah asing, Atau terlihat berbicara lamban tak jelas arah.

Akan tetapi berada pada tatanan intelektualitas yang bersandar pada penguasaan masalah dan kesadaran akan pentingnya menjawab keingintahuan publik. Memaksimalkan fungsi berbahasa dengan tujuan meyakinkan orang lain adalah pilihan cerdas di tengah keraguan publik terkait kualitas calon pemimpin di masa mendatang.

Sebaliknya, Ketidakmampuan dalam mempergunakan bahasa akan menghasilkan ketidakjelasan dalam mengungkapkan masalah dan kegagalan memaparkan gagasan pikiran yang justru dapat membawa dampak negatif bagi seorang pemimpin karena bisa saja akan memunculkan stigma ketidakmampuan dalam berbicara juga berarti ketidakmampuan dalam mengelola negara.

Point ini saya kira harus menjadi perhatian khusus bagi para capres-cawapres pada debat kedua mendatang, serta tidak memanfaatkan momentum debat hanya sebagai ajang show off saja, akan tetapi diharapkan agar visi, gagasan dan program prioritas masing-masing dapat ter-delivery dengan baik kepada publik dan menjadi acuan.

Renny Puteri Harapan Rani Rasyid, S.I.Pem, M.AP

Ketua Umum Nasional De’Polic Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *