Opini : Hadiah Nawacita Untuk Generasi Milenial

Kabar Nusantara News;- Proses demokrasi adalah sebuah keniscayaan di ruang konstitusional kita, karena pada prinsipnya menjadi dasar konsep kepemimpinan dari bangunan struktur sistem pemerintahan di setiap tingkatannya.Makassar (28/07/2018)

Membaca diskursus perjalanan perpolitikan sejak jatuhnya orde baru, di mana arah reformasi walaupun awalnya di satu sisi telah memberikan harapan, tapi dalam realitasnya yang telah terjadi justru masih jauh dari apa yang menjadi spirit dan esensi tujuan reformasi itu sendiri.

Secara garis besar ada beberapa catatan yang setidaknya menjadi problem besar bangsa kita hingga hari ini seperti pertama, maraknya prilaku korup yang terjadi, kedua terus bergulirnya praktek politik transaksional yang tentunya berkaitan dengan poin pertama tadi, ketiga gerakan politik identitas yang faktanya disaat yang sama perlahan tapi pasti telah menggerus dan merongrong ideologi negara yang hakikatnya adalah kebhinnekaan.

Menatap realitas yang terjadi tersebut, tidak dapat disangkal betapa pentingnya penafsiran faktual yang progresif dalam upaya mencari solusi perbaikan problem pranata sosio-politik yang telah terjadi.

“Kejadian faktual” sejauh ini menyangkut sistem kekuasaan dan pemerintahan bukan hanya yang harus dilihat sekarang, melainkan juga harus dipahami sebagai hal terkait dengan masa lalu dan masa depan negera kita.

Sehingga pertanyaan besarnya kemudian adalah bagaimana kita mensikapi bersama masa depan peradaban demokrasi kita dengan realitas yang menjadi ironi tersebut, dan pada akhirnya hasilnya suka atau tidak suka kita akan mewariskan “hadiah” ini kepada generasi anak cucu kita nantinya.

Sejatinya dalam berbagai kasus sosial, kita tidak boleh mengabaikan atau bersikap acuh tak acuh, diperlukan bentuk apresiasi kongkrit dan partisipasi nyata untuk mengambil peran sekecil apapun itu dalam berbagai upaya yang akan dilakukan kemudian.

Dan sekali lagi pastinya dibutuhkan partispasi aktif semua elemen anak bangsa tanpa terkecuali untuk melalukan apa yang dianggap penting diupayakan saat ini.
Menatap realitas sosial dalam prosesnya sebagai kajian terhadap berbagai problematikanya seperti misalnya, ketidakadilan diseluruh aspeknya yang berdampak pada langgengnya masalah kemiskinan hingga terjadinya kesenjangan sosial, yang berhubungan erat dengan intimidasi, penindasan, kekerasan, dan seterusnya.

Pada dasarnya ini adalah konteks pranata sosial yang kalau dilihat dari kacamata epistemiknya muaranya adalah soal persepsi individual dan kesadaran kolektif yang terpola menjadi kebiasaan dalam praktek sosial. Berangkat dari titik ini sederhananya adalah membangun arah kualitas demokrasi kita sejatinya adalah membangun sebuah peradaban itu sendiri.
Sampai saat ini hingar bingar sosio-politik di ruang demokrasi kita sayangnnya narasinya hanya selalu terhenti pada kajian angka-angka dan elektoralnya saja, belum beranjak sama sekali ke tahap yang diharapkan, tentang bagaiamana demokrasi sebagai pondasi dari konstruk sistem sosial, politik, hukum, dan ekonomi itu lebih diarahkan kepada tujuan “makna filosofis” nilai-nilai luhur moral etiknya. Dalam hal ini agar kajian muatan sistem demokrasi seharusnya juga fokus pada gerakan paradigmatik menyangkut nilai-nilai luhur prinsip kemanusiaan. Dan tentunya prinsip dasar dalam memaknai semua ini syaratnya adalah aktulisasi nilai-nilai keadilan yang meciptakan kearifan masayarakat egaliter, kalau menatap apa yang terjadi di republik ini jelas dapat dipastikan terlihat terbaikan begitu lama.

Ini tidak lepas dari perkembangan budaya pengetahuan kita, yang hampir pasti lebih di dominasi perkembangan sistem ilmu-ilmu dari perspektif dunia Barat yang diberi label sebagai “ilmu pengetahuan modern” baik itu soal sains dan teknologi, serta tafsir sains sosial kemasyarakatan dan tentunya ini berimplikasi pada sistem demokrasi kita. Sehingga metodologi dalam prakteknya hampir pasti menggunakan “kalkulasi kuantitatif” saja.

Paradigma riset penelitian yang dibangunpun dalam role modelnya yang diklaim secara canggih ataupun dengan cara apa adanya, seolah-olah apa yang terjadi tanpa persoalan krusial.

Dan dipahami bahwa nilai-nilai kuantitatiflah yang sudah dianggap cukup menjadi jawaban dalam menyelesaikan kompleksnya persoalan yang selama ini terjadi.

Mungkin ini sekadar gambaran fenomena apa yang terjadi di permukaan saja, dan mustahil untuk menguraikannya secara lengkap di sini, karena problem sejarah perjalanan peradaban pengetahuan adalah masalah yang sangat luas dan mendalam berkaitan dengan sejarah panjang peradaban sosial manusia itu sendiri.

Kembali ke fokus uaraian, bahwa ada dua variabel dalam membaca demokrasi kita hari ini, pertama demokrasi dalam ruang elektoral dalam kontestasinya, dan kedua demokrasi pada tataran konsepsi “makna filosofi nilai” sebagai manifestasi ideologi negera yakni Pancasila, untuk kemudian bagaimana membangun kultur perpolitikan kita.

Mindset ideologis dan mekanisme elektoral terlihat tidak terkoneksi sama sekali, yang mengakibatkan terdistorsinya nilai-nilai luhur dalam realitas kontestasi demokrasi kita, sehingga praktek politik di ruang demokrasi hanya sebagai ajang perebutan kuasa semata-semata.

Konklusinya kewajiban kitalah untuk terus aktif memperjuangkan agar suhu dinamika demokrasi kita bisa lebih menjadi ideologis dan mengakar dalam suasana kebatinan seluruh anak bangsa, terkhusus para kepada generasi muda atau istilah ternd hari ini menyebutnya “kaum milenial”.

Nawa Cita untuk Generasi Milenial

Terpilihnya seorang Ir. Joko Widodo sebagai presiden ketujuh, menjadi sebuah babak baru, karena ada nuansa yang kemudian terlihat di mata publik negeri ini bahwa figur presiden yang terpilih ini pada Pilpres 2014 lalu, diyakini sangat mewakili karakter umum masyarakat kecil dan disaat yang sama menandakan bangkitnya simbol politik demokrasi egaliter.

Beliau tidak terlahir dari kalangan elitis dan juga bukan bagian masa lalu rezim orde baru. Terlepas kita setuju atau tidak, ini adalah realitas faktual, bahwa presiden ketujuh RI ini latar belakangnya dari masyakat biasa yang notabene anak seorang pengusaha kayu kecil (meubel) dan berdomisli di pinggiran kota Solo, kemudian diawal karir politiknya terpilih sebagai Walikota Solo.

Dan ketika terpilih sebagai Presiden beliau berkomitmen menerjemahkan konsep pembangunan dengan sipirit ideologi Pancasila yang diterjemahkan sebagai Nawa Cita dalam sebuah peristilahan.
Nawa Cita atau Nawacita adalah sebuah istilah umum yang diambil dari bahasa Sanskerta, Nawa arti harfiahnya sembilan dan Cita artinya adalah tujuan, harapan, agenda, atau keinginan.

Dalam konteks menjelang Pilpres tahun 2014 lalu, istilah ini dijadikan visi-misi oleh Ir.Joko Widodo untuk mengususng agenda program pembangunan pemerintahannya.

Dalam visi-misi tersebut dipaparkan sembilan agenda pokok yang sebenarnya esensinya untuk melanjutkan semangat perjuangan dan cita-cita Soekarno yang dikenal dengan istilah Trisakti, yakni berdaulat secara politik, mandiri dan berkeadilan dalam bidang ekonomi, serta berkarakter dalam kearifan kebudayaan.

Sebagai instrumen nili-nilai luhur ideologi berdemokrasi konsep nawacita seharusnya bisa terimplentasi dengan baik dalam membangun masyarakat kita, terkhusus bagaimana nantinya gerakan paradigma dan spirit ini bisa menjadi warisan prinsip berdemokrasi untuk generasi milenial, yang eranya justru saat ini menghadapi masalah yang lebih kompleks dan makin berat tantangannya dikemudian hari.

Sebagai catatan tentunya di sini terjadinya krisis nasionalisme serta pargmatisme politik merupakan sebuah konsekuensi logis dari gagalnya kita membangun karakter budaya sebagai langkah pertahanan dalam membendung dampak negatif arus politik global, dan menatap ini tentunya akan menjadi pekerjaan rumah yang terus menerus harus diperbaiki.

Soal generasi milenial adalah sangat penting untuk jadi perhatian kita bersama, karena berkaitan erat dengan soal masa depan peradaban demokrasi kita. Dan akhir kata dari uraian singkat ini sebagai petutup, dengan mengulangi pertanyaan besar yang sangat serius, bahwa dengan apa dan bagaimana cara kita mewariskan ”hadiah” terbaik agar kita dapat terbentuk ke generasi penerus (baca: kaum milenial) yang berkarakter untuk masa depan peradaban negeri kita dikemudian hari nantinya?.

Rilis Rubrik Opini koran Cetak Sindonews,Sabtu 28/07/2018

Oleh: Fajar Ahmad Huseini
Ketua Presidium Deklarasi Young Celebes
for JKW2P
Ketua Dewan Pimpinan Daerah
Forum Nasional Bhinneka Tunggal Ika
Sulawesi Selatan

Keterangan : Opini Ini disadur dari SINDONEWS,Sabtu 28 Juli 2018.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *