Di Hari Perlawanan Rakyat Itu

Kabarnusantaranews, Opini;- Pada hari itu, Rabu 23 Januari 1946. Masa 74 thn, 3.861 pekan, dan 27.028 hari yang lalu, dikala itu di Nikaragua, lahir seorang bayi diberi nama Jose Arnaldo Aleman Lacayo. Tak dinyana, kelak 1997-2002, memimpin negeri beribukota Manugua itu.

Sementara di Lubbock, Texas, hari yang sama juga lahir Don Whittington, pembalap terkemuka Amerika Serikat. Juga di hari yang sama, di Indonesia, di Pulau Sulawesi, ujung teluk Bone, Kota Palopo, berlangsung perlawanan rakyat.

Enam bulan sebelumnya, Soekarno dan Hatta, telah memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, di Jakarta, 17 Agustus 1945. Seketika Datu Luwu, Andi Djemma, pada saat pertemuan Raja-Raja di Watampone, Bone, memproklamirkan bahwa; “Luwu berdiri di belakang Rebuplik Indonesia.

Wilayah Luwu adalah daerah yang tidak terpisahkan dengan Republik Indonesia”. Dipertuankan Agung telah menegaskan sikapnya, tak ada sikap mendua bagi rakyatnya, mau berani mengingkari.

“Narekko naposiri’I Datue Napomatei pabbanuae”. Jika Datu telah mempermaklumkan diri, tak ada jalan lain – dalam system monarki — seisi kampung, wajib menjunjung membelanya. Andai mendesak, nyawalah taruhannya. Maka ketika balatentara sekutu Australia, pasukan NICA juga KNIL, balik mendatangi Palopo — ibukota Kedatuan Luwu — musabab tak menerima pernyataan kemerdekaan Indonesia, kaum muda pergerakan segera berkonsolidasi menata ulang kekuatan.

Kian konsilidasi berhasil merapatkan dan mensolidkan kekuatan rakyat, sisi lain desas desus tak dielak, segolongan kecil rakyat biasa dan bangsawan, laten justru ikut bersekutu, menggeledah rumah penduduk. Tetapi saat mengobrak-abrik masjid serta menginjak-injak kitab suci, melecut kegeraman ulama. Umara di istana berang. Bagai bisul yang telah membuncah, ledak kekuatan rakyat tak lagi dielak. Perlawanan “people power”, 23 Januari 1946, itulah yang dicatat sejarah.

“The people resistance day”, hari perlawanan rakyat itulah yang tiap tahun diperingati – bukan rakyat — pemimpin di wilayah eks-Kedatuan Luwu. Mengingatkan, 23 Januari, peringatan Hari Perlawanan (resistance day), bukanlah Hari Perjuangan (struggle day).

Berjuang dan melawan, jauh berbeda makna dan pengertiannya. KBBI menjelaskan, berjuang adalah merebut sesuatu. Melawan adalah menghadapi sesuatu. Perlawanan, karena ada tantangan yang mesti dihadapi.

Kala tanah dipijak sebagai bangsa dan mewujud dalam paham, itulah nasionalisme itu. Tak ada sikap ambigu selain kukuh merawat dan mempertahankan. Itulah “Hubbul wathan minal iman”, mencintai tanah air bagian iman. Andai ada pihak mau merebutnya, membelanya hingga tetes darah terakhir, “toddopuli temmallara” . Seperti aksara dan monumennya tetap di sana. Simbol perlawanan “resistance”, bukan perjuangan “struggle”, dan apalagi pemberontakan “rebellion”.

Pasca berakhirnya perang dingin, runtuhnya sosialisme serta liberalisme, sendirinya resistance, struggle serta rebellions hilang dalam kamus. Kini abad 21, memasuki revolusi industry 4.0, era kompetisi bebas tanpa mengenal sekat, selain karena kompetensi. Dan, 23 Januari 1964, Luwu di akhir monarki. Kini 23 Januari, masa pemerintahan demokrasi, rakyat pemilik sah kedaulatan tertinggi. Maka redaksinya berubah; “Narekko naposiri’I pabbanuae, Napomatei pamarentae”.

Makassar, 23 Januari 2020

Oleh : Armin Mustamin Toputiri

SUMBER: https://www.arminmustamintoputiri.com/2020/01/di-hari-perlawanan-rakyat-itu.html?m=1

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *