Perselingkuhan Ideologi Dalam Transaksi Politik Pilkada

Kabar Nusantara News ;–Pasca Mahkamah Konstitusi (MK) menetapkan dan menolak uji materi Pasal 222 Undang-Undang No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang mengatur mengenai ambang batas parlemen atau presidential threshold. Itu artinya parpol atau gabungan parpol harus mengantongi 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional untuk bisa mengusung pasangan Capres dan Cawapres pada 2019 nanti, hal yang sama juga berlaku untuk Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018.

Ambang batas yang digunakan sebagai dasar penilaian perolehan suara bagi setiap partai politik adalah hasil pemilu 2014 lalu. Sementara tak ada satu pun partai politik yang meraih 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional. Sehingga dengan demikian mengharuskan semua partai politik yang dinyatakan lolos verifikasi oleh Komisis Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) untuk berkoalisi dengan partai lain jika hendak mengusung kandidat calon kepala daerah atau wakil kepala daerah pada Pilkada serentak Tahap II tahun 2018.

Perselingkuhan Ideologi

Ideologi adalah seperangkat nilai yang dijadikan sebagai pandangan hidup bersama suatu kelopok. Di Indonesia, secara teoritis ideologi partai digolongkan menjadi tigak kelompok yaitu Islam, Nasionalis, dan Nasionalis Religius. Pada kelompok ideologi pertama Partai Keadilan Sejahtera, Partai Bulan Bintang, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Persatuan Pembangunan; Kelompok ideologi kedua terdapat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, Partai Nasional Demokrat, Partai Demokrat, dan Partai Hanura; Sedangkan partai kelompok ideologi ketiga adalah Partai Amanat Nasional, dan Partai Gerindra.

Dengan presidential threshold 20 persen tersebut membentuk perilaku partai yang transaksional dan pragmatis. Koalisi yang dibangun antar partai pada pilkada saat ini tidak dalam kesamaan visi dan ideologi. Kedua hal itu hampir dihilangkan atau sengaja diendapkan di dalam ruang sunyi. Ideologi tiba-tiba menjadi konsepsi yang tabu dibicarakan antar partai, padahal merupakan suatu yang fundamental. Seolah ada kesepakatan yang tak tertulis bagi setiap elit partai, mulai dari pusat hingga daerah, bahwa dalam setiap pertemuan antar partai, dimana deologi partai “dilarang” untuk ucapkan. Begitu juga dengan visi, adalah alat ukur dalam melihat arah perjuangan suatu partai. Mendadak semua partai mengganti visi mereka menjadi visi yang seragam: yaitu memenangkan pertarungan.

Akibatnya, antara Islam, Nasionalis dan Nasionalis-Religius tidak lagi dapat dibedakan. Batas identitas ketiganya menjadi kabur, berkamuflase ke dalam simbol-simbol dan slogan kampanye, dan berselingkuh dalam berbagai kepentingan politik. Partai nasionalis (sekuler) seperti PDIP terkadang terlihat sangat islami dalam beberapa atraksi kampanye, begitupun PKS yang terlihat sangat liberal dalam berpolitik. Secara ideologis, kedua partai itu sangat kontras, tetapi secara politis keduanya sulit dibedakan mana yang Islam dan mana yang sekuler. Di beberapa daerah yang menyelenggarakan Pilkada seperti Sulawesi Selatan, keduanya terlihat sangat mesrah “penuh cinta”, di tempat lain keduanya juga kadang “malu-malu tapi mau”, walaupun di lain tempat memang bermusuhan. Tapi itulah realitanya, politik merubah kemunafikan menjadi kepentingan yang menggelikan.

Para elit partai kadangkala menegaskan identitas ideologinya kepada publik: Partai Islam menegaskan keislamannya, yang Nasionalis menegaskan komitmen kenasionalismeannya. Hal itu bukan untuk menegasikan tentang garis perjuangan, tetapi lebih sebagai strategi mendulang suara. Karena bagi partai Islam, jumlah pemilih muslim yang besar menjadi basis elektoral yang tidak bisa diabaikan, begitu juga dengan partai Nasionalis, dengan menggelorakan komitmen kenasionalismeannya akan mendapatkan dukungan yang signifikan bagi warga negara yang cinta tanah air.

Pemikir politik kelahiran Jerman Robert Michels (1984) membaca kecenderungan perilaku partai yang disorientasi ideologis tersebut, merupakan gejala yang umum dirasakan oleh hampir semua partai di dunia. Hal ini disebabkan menguatnya kepentingan-kepentingan pragmatis dari elit partai, yang ia sebut sebagai gejala oligarkis. Dimana partai tidak lagi berpedoman pada idelogi atau platform partai, keduanya akan menjadi sangat fleksibel dan tidak memiliki daya jika berhadapan dengan posisi kuasa dan materi.

Sementara hampir semua partai di Indonesia kata Jeffrey A. Wintters (2012), dikendalikan oleh kelompok oligarki, yaitu mereka yang memiliki banyak modal secara ekonomi dan memiliki tujuan mendapatkan kekuasaan dan finansial sebanyak-banyaknya. Sehingga wajar, jika perjaungan partai saat ini bukan lagi memperjuangkan ideologis, tetapi perjuangan untuk memenuhi hasrat oligark yaitu kekuasaan dan kekayaan.

Transaksi Politik Pilkada
Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Djayadi Hanan menilai ketentuan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold menyuburkan transaksi politik, yaitu munculnnya koalisi yang dibangun menjadi tidak murni. Pernyataan ini dapat diakui bahwa dalam suasana kepartaian yang tidak ideologis ini, ambang batas justru potensial menyuburkan transaksi untuk berkoalisi, dan “mahar politik” jadi penentu.

Dengan kondisi demikian, mahar politik menjadi sesuatu yang lumrah terjadi antara Parpol dan bakal calon kepala daerah. Secara yuridis, mahar politik sebenarnya sudah diatur dalam UU Pilkada No.8/2015. Walaupun terminologi mahar politik masih multitafsir. Kendati demikian, dari sejumlah pendapat yang mengemuka, setidaknya istilah mahar politik merujuk kepada dua hal. Pertama, suatu imbalan khususnya dalam bentuk uang yang diberikan seorang calon kepada partai politik tertentu, dengan maksud agar parpol tersebut mencalonkan yang bersangkutan dalam Pilkada. Praktik semacam ini sering diistilahkan dengan “jual-beli perahu”. Kedua, yakni mengacu pada sejumlah uang yang dipersiapkan untuk membantu biaya operasional keikutsertaan calon tertentu dalam suatu kontestasi Pilkada. Namun, sepertinya publik lebih banyak yang menterjemahkan mahar politik sebagaimana makna yang pertama.

Pada poin pertama, dugaan praktik “jual-beli perahu” ini dapat kita amati dalam kontestasi Pilkada saat ini. Yaitu adanya inkonsistensi Parpol dalam memberikan rekomendasi: Ada partai awalnya merekomendasikan kandidat A, tiba-tiba berubah ke B, besoknya lagi ke C, atau ke A sebagian dan sebagian lagi B. Hal ini disebabkan karena kesepakatan mahar dan politik deal politik yang tidak pasti. Puncaknya adalah munculnya reaksi balik dari kandidat yang kecewa, seperti yang dilakukan oleh La Nyalla Mattalitti terhadap Prabowo.

Kasus lain misalnya yang terjadi di Pilakad Kota Makassar, pasangan Danny Pomanto dan Indira Mulyasari Prastuti (DIAmi) yang maju lewat jalur independen. Mereka boleh dibilang tidak cukup berhasil mendapatkan partai pendukung,walapun ada partai demokrat dan Perindo yang tetap solid mendukung,mungkin selain tidak memiliki uang yang cukup untuk membayar mahar dalam makna point pertama,juga tidak cukup mampu mempu membayar uang operasional yang terlampau tidak wajar. Akibatnya partai partai yang awalnya mendukung DIAmi saat Deklarasi akhirnya keluar barisan meninggalkan loncat ke kandidat lain. Karena jika pasangan DIAmi punya banyak cadangan anggaran yang cukup, maka besar kemungkinan mereka melakukan hal yang sama sebagai mana dilakuakn pasangan Appi- Cicu, yaitu memborong semua partai. Demikian hal yang dialami oleh batalnya pencalonan pasangan Syamsul Rizal dan Iqbal Djalil (DIAji) pada Pilwalkot Makassar karena tidak mendapatka partai tambahan, mengisartkan adanya diduga praktik “jual-beli perahu” atau besarnya patokan angka biasa operasional politik yang dilakukan oleh partai. Pasangan DIAji mungkin tidak mampu atau tidak cukup banyak anggaran untuk membayar partai tambahan, hingga akhirnya hampir semua partai diborong dan bergerombol ke pasangan Munafri Arifuddin-Andi Rachmatika Dewi (Appi-Cicu) yang cukup banyak memiliki cadangan anggaran. Walaulup praktik-praktik semacam ini sulit dibuktikan.

Penulis : Ibnu Hajar Yusuf
(Ketua Umum IPTI Sulsel)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *