(Opini) Memanusiakan Anak Lorong

Kabar Nusantara News ;- Politik adalah tindakan praktis yang dilakukan oleh masyarakat yang secara bersama-sama membicarakan kepentingan mereka yang kemudian dituangkan dalam undang-undang sebagai alat demanding guna mewujudkan kepentingan tersebut.Makassar (12/02/2018)

Artinya praktik politik dalam pelaksanaannya harus memberikan kebaikan dalam artian mewujudkan kepentingan yang ada bagi setiap warga masyarakat tanpa terkecuali yang didasari oleh undang-udang dan diwajibkan bagi negara untuk melaksanakannya demi kepentingan mereka tanpa melakukan pelanggaran-pelanggaran lainnya.

Hal ini senada disampaikan oleh Ibnu Aqil yang mendefinisikan politik sebagai segala perbuatan yang mendatangkan kemaslahatan bagi umat manusia tanpa sedikitpun kerusakan di dalamnya. Pandangan ini jelas memberikan petunjuk kepada kita bahwa bilamana ada politikus tidak mampu memberikan kemaslahatan bagi warganya sejatinya orang tersebut telah jauh dari esensi praktis dari praktik politik.

Salah satu hal yang tidak bisa dipalingkan dari kacamata kita bahwa dewasa ini politik praktis telah banyak memberi kerusakan pada sektor lingkungan hidup. Kebijakan politik yang dibuat untuk melindungi kepentingan warga masyarakat justru menimbulkan kerugian yang tidak hanya sedikit pada warga masyarakat, tetapi juga pada lingkungan hidup itu sendiri.

Kasus proyek pembangunan hunian kawasan reklamasi teluk Jakarta di pantai Utara Jakarta adalah salah satu contoh kasus kebijakan politik yang bertentangan dengan kepentingan masyarakat bahwa hal tresebut merugikan warga masyarakat dan lingkungan sekitarnya.

Hal ini seperti yang disampaikan oleh Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) bahwa reklamasi teluk Jakarta berpotensi menimbulkan dampak atau resiko kerusakan lingkungan hidup (www.cnnindonesia.com, tanggal 14/04/2016). Kerusakan dan kerakusan untuk membangun kepentingan materil yang dieufemismekan dengan bahasa ‘pembangunan’ menjadikan aktivitas ini seakan tidak bisa dihentikan atau ditolak padahal kebutuhan pembangunan ini lebih berat menguntungkan kepada negara dan si pengusaha yang saling berkerjasama mengeruk dan mengekploitasi kekayaan alam.

Akibatnya adalah warga masyarakat terusir dari lingkungan yang selama ini menjadi tempat mereka meraup rezeki dan membentuk serta mewariskan apa yang menjadi tradisi mereka kepada keturunannya nanti sebagai konsekuensi dari pembangunan tersebut.

Sistem budaya ekonomi baru mendorong keberadaan lingkungan tidak lagi sebagai lahan untuk lingkungan hidup, tapi bergeser menjadi komoditi yang menawarkan keuntungan materil di dalamnya.

Pada konteks politik praktis dalam menjaga koeksistensi akan ketergantungan satu sama lain antara manusia dan lingkungan hidupnya perlu membangun kesadaran kolektif tidak hanya pada level ranting, namun juga pada level kenegaraan.

Hal inilah yang menjadi perhatian Ir. H. Mohammad Ramdhan Pomanto yang berkeinginan untuk mengharmoniskan hubungan antara manusia dengan lingkungannya lewat kebijakan politik yang dibuatnya, antara lain: Lorong Garden, Badan Usaha Lorong (BULo), Lorong KB, Lorong Sehat, dan gerakan Makassar Tidak Rantasa (MTR). Bronwyn Fredericks (2009) pernah menyebutkan bahwa “place are experienced and understood in multiple ways and are embedded within an array of politics” (Lingkungan hidup dapat dialami dan dipahami dalam berbagai macam pengertian dan juga tidak dapat dipisahkan dari kepentingan politik). Hal ini menegaskan bahwa lingkungan hidup tidak bisa dipinggirkan dari kepentingan politik. Tidak sedikit perubahan yang terjadi pada lingkungan hidup dibatasi oleh kebijakan politik.

Pertanyaannya adalah apakah keberadaan lingkungan hidup memiliki relasi langsung dengan kebijakan politik? Salah satu jawaban yang dijelaskan kembali oleh Bronwyn Fredericks melalu penelitiannya di tahun 2009 dengan judul “There is Nothing that “Identifies me to that place: Aboriginal Women’s Perceptions of Health Spaces and Places” menjelaskaan bahwa hampir sebagian besar perempuan suku asli Aborigin di Australia mengidentifikasi diri mereka sebagai bagian dari lingkungan hidup yang sehat dan ini kemudian menjadi ciri indentitas mereka. Mereka menyakini bahwa lingkungan hidup dan tempat tinggalnya tidak hanya dibentuk oleh mereka, akan tetapi lingkungan hidup dan tempat tinggal tersebut turut pula membentuk kepribadian mereka.

Pandangan ini hampir sejalan dengan gagasan Ir. Mohammad Ramdhan Pomanto sebagai Wali Kota Makassar di selah-selah wawancaranya bersama harian oneline, RAKYATKU.COM, Makassar (26/07/2017) yang menyatakan bahwa “Mayoritas persoalan perkotaan ada di lorong. Masalah kemiskinan, kriminalitas, putus sekolah, dan beragam masalah sosial lainnya ada di lorong”. Contoh nyata adalah perkampungan Ambon di Jakarta Barat yang diidentikkan dengan kampung Narkoba dan dicurigai banyak menyuplai obat terlarang di sekitar wailayah Jakarta Barat (www.news.okezone.com, tanggal 30/12/2017). Artinya adalah jika kemudian lingkungan hidup yang selama ini telah menjadi penciri persoalan perkotaan dan bahkan stereotip bagi masyarakat dikonstruksi dengan baik melalui suatu kebijakan politik yang tepat sasaran, maka kebutuhan untuk membangun masyarakat mandiri secara ekonomi dan politik serta jauh dari kesan kriminalitas tidak mustahil dapat dipenuhi. Karena itu, pendekatan kultural dan pengetahuan mendalam dan komprehensif menyangkut masyarakat dan lingkungan hidup mereka perlu dimiliki guna mengurai atau bahkan menghilangkan problematika sosial yang banyak terjadi di perkotaan yang cenderung dipartisi oleh persoalan masyarakat akar rumput atau masyarakat bawah.

Melihat kenyataan di atas sejatinya praktisi politik tidak hanya mengalamatkan kepentingan politiknya terhadap sesamanya, tetapi juga bagaimana kepentingan itu dapat dirasakan pula pada lingkungan hidup bukan hanya dieksploitasi semena-mena untuk kepentingan manusia.

Sebagai manusia politik seyogyanya mereka harus bersedia tidak hanya mempertimbangkan kepentingan manusia, tapi juga kepentingan lainnya di mana lingkungan hidup ada di dalamnya karena sejatinya manusia adalah makhluk baik. Sebagaimana yang dikatakan oleh filsuf Italia, Marcus Tullius Cicero bahwa “Orang yang mengambil sesuatu dari orang lain dan meningkatkan keuntungannya sendiri dengan mengorbankan keuntungan orang lain lebih buruk daripada kematian, daripada kemiskinan, daripada penderitaan yang mungkin menimpa tubuh atau hak milik eksternal lainnya.

Alam dengan hukumnya menetapkan bahwa seorang manusia harus bersedia mempertimbangkan kepentingan orang lain, siapapun ia, dengan alasan mendasar yakni karena ia adalah manusia.” Bahkan Allah swt. dalam surat Shad ayat 27 menjelaskan bahwa sesungguhnya kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya tanpa hikmah.

Sementara bagi mereka yang tidak mengindahkan hal tersebut maka mereka termasuk golongan orang-orang kafir dengan neraka sebagai balasannya. Dengan demikian, sebagai manusia politik sejatinya membangun hubungan baik dan harmonis tidak hanya sesama manusia, tetapi juga dengan lingkungannya tempat mereka hidup. Itulah arti khalifah sesungguhnya!

■Oleh: Jalaluddin Basyir, S.S., M.A.
Dosen Ilmu Komunikasi
Fak. Dakwah dan Komunikasi
Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar (UIN)



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *