Ketika “SOEKARNO” Memerintahkan Perang Di Bulan Suci Ramadhan

Kabar Nusantara News;- 1 Ramadan 1366 jatuh pada tanggal 19 Juli 1947. Saat itu, umat Islam di Indonesia sedang menjalani ibadah puasa. Kala mereka baru memasuki bulan suci ini,tiba-tiba Serdadu Belanda bergerak dari Surabaya dengan menggunakan lima buah kapal menuju Bali. Dalam perjalanan, rombongan tersebut dikawal oleh sebuah kapal pemburu torpedo Evertsen.Opini (20/05/2018)

Dua kapal lain yang juga membawa Tentara Kerajaan Hindia Belanda (Koninklijk Nederlands-Indisch Leger/KNIL) menyusul kemudian. Tak lama setelah umat Islam di Jawa Timur menunaikan Salat Taraweh, “Jam 22.00: Tank, truk, dan pasukan Belanda dinaikkan ke kapal di titik kumpul di Bali untuk kemudian didaratkan di Teluk Meneng di utara Banyuwangi,” tulis Pramoedya Ananta Toer (dkk) dalam Kronik Revolusi Indonesia Jilid III (1947) yang terbit pada Februari 2001.

Itulah salah satu gambaran persiapan awal Belanda meluncurkan agresi militernya yang pertama. Peristiwa ini dilatarbelakangi oleh ketegangan panjang antara pihak Belanda dengan Indonesia yang berujung pada disfungsionalisasi Persetujuan Linggarjati yang ditandatangani kedua belah pihak pada 25 Maret 1947.

Tanggal 15 Juli di tahun yang sama, Dr. Hubertus Johannes van Mook (Gubernur Jenderal Hindia Belanda dari 1944 s/d 1948) mengeluarkan ultimatum yang dianggap merugikan Indonesia. Dia meminta supaya pemerintahan RI segera menarik mundur pasukannya dari garis demarkasi sejauh 10 km.

Namun usulan ini ditolak. Sehingga tiga hari berikutnya, 18 Juli, dia menyatakan secara tegas bahwa jawaban RI tak dapat ditolerir dan meminta kepada Pemerintah Belanda untuk bersikap. Akhirnya, Kabinet Belanda ‘pun memberi izin Jenderal Simon Hendrik Spoor, komadan KNIL dan Angkatan Darat Belanda (Koninklijke Landmacht/ KL) periode 1946 s/d 1949, untuk memakai kekuatan militer dalam mengatasi persoalan tersebut.

Seperti yang dicatat Pram (2001), “Spoor mengeluarkan perintah: ‘Hari H product tanggal 21 Juli.” Maksudnya, Agresi Militer Belanda I akan dimulai pada tanggal segitu. Karena memang, “operasi diberi nama sandi ‘Product”, tulis Ibu A. Yani dalam Ahmad Yani, Sebuah kenang-kenangan (1982).

Sebelum perang akbar itu benar-benar meletus, tepat pada hari ke-2 puasa (Minggu, 20 Juli), sekitar pukul sebelas, di bawah komando Kapten Westerling pasukan Belanda mulai bergerak menguasai gedung-gedung instansi dan kantor-kantor penting. Salah satunya yang diduduki, menurut Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia – Volume 5 (1978), adalah rumah Bung Karno di Pegangsaan Timur. Tapi beruntung saat itu Sukarno tak lagi di Jakarta. Karena sejak 1946 dia hijrah ke Yogyakarta seiring dengan perpindahan ibukota.

Malam itu banyak korban yang dipersekusi. Kantor Penghubung Tentara di Jalan Cilacap No. 5 ‘pun tak luput dari sasaran aksi rahasia militer Belanda itu. Para anggotanya ditangkap dari rumah masing-masing. Mereka lalu dijebloskan ke tahanan Bukitduri. Para pendukung RI di Jakarta yang ketahuan Belanda juga dibangunkan dari tidurnya. Bukan untuk disuruh sahur, tapi dipenjara.

Bahkan Belanda juga melakukan strategi apa yang disebut “wortel” dan “tongkat”. Mereka menganggap pendukung RI seperti kelinci yang dapat ditipu dengan cara seperti itu. Mereka diberi tawaran, kalau mau dihadiahi “wortel”, kalau tidak “tongkat” sebagai ganjarannya. Dalam Memenuhi Panggilan Tugas: Kenangan Masa Muda (1990), A.H. Nasution bercerita, “Pegawai-pegawai RI (di daerah yang diduduki militer Belanda) dibujuk untuk ikut Belanda, tapi hampir semua menolak. Mobil-mobil RI yang bertanda X dibeslah (diambil, maksudnya, Red), koran-koran RI ditutup.”

Dini hari jelang tanggal 21, di Bekasi sudah terjadi pertempuran. Satu peleton Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang menjaga Bandara Bekasi untuk kali pertama berperang dengan laskar Haji Pandji, komplotan yang diketahui telah membelot ke Belanda. Kecamuk konflik inilah yang melatarbelakangi Belanda terdorong untuk juga merebut kawasan utara Jawa Barat.

Di Aceh, Belanda melakukan propaganda opini. Sebuah pesawat yang terbang rendah di langit Kotaraja itu menyebarkan pamflet. Isinya adalah “Pihak Indonesia menghalang-halangi kerjasama Indonesia-Belanda dan mementingkan diri sendiri dengan mengorbankan rakyat jelata yang tetap dalam kesengsaraan, (Pram, 2001).” Namun rakyat setempat tak terpengaruh. Karena mereka kokoh memegang prinsip perjuangan. Akibatnya, mereka diserang secara membabi buta mulai dari pesisir timur sampai ujung barat.

Dua hari sebelum kejadian itu berlangsung, 19 Juli, umat muslim Aceh berkumpul di Masjid Raya Baiturrahman dalam rangka menyambut bulan suci Ramadan. Acara tersebut diawali dengan pembacaan ayat-ayat Quran oleh seorang qari’ (pelantun) terkenal, Said Ubaidillah. Dalam pertemuan ini, para ulama dan tokoh setempat menghimbau supaya giat dalam ibadah dan jangan jadikan bulan puasa sebagai penghalang perjuangan kemerdekaan.

Bahkan, selain ulama Aceh, Bung Karno ‘pun sempat memberi perintah serupa. Sebagaimana yang diceritakan Mischa de Vreede dalam Selamat Merdeka: Kemerdekaan yang Direstui (2013), Bung Karno menginstruksikan untuk perang melalui radio. Vreede menulis, “Aku masih ingat, Soekarno dan Hatta minta mikrofon dan menyatakan:

‘Berperang terus, biarpun saat ini bulan puasa! Karena Nabi Muhammad juga berperang pada suatu bulan puasa!”(*)

Sumber : sejarahRI.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *